Temperatur Nasional Diprediksi Meningkat 1,5 Derajat Celcius Di Tahaun 2100, Indonesia Dorong Mitigasi Perubahan Iklim Dengan Green Climate Fund

NEW YORK – “Di masa depan, Indonesia diprediksi akan mengalami dampak lebih dramatis dari perubahan iklim. Kami memperkirakan di 2100, jika tidak ada langkah yang tepat, temperatur Indonesia akan meningkat 1,5 derajat Celsius dan cuaca ekstrem akan lebih intens. Kondisi iklim ini akan menciptakan bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, longsor, berkurangnya produksi pertanian, dan terbatasnya area penangkapan ikan untuk nelayan. Jika dibiarkan, kondisi tersebut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia,” papar Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro pada side event The Role of Green Climate Fund in Implementing the Paris Agreement and the 2030 Agenda yang digelar dalam rangka the United Nations (UN) High-Level Political Forum (HLPF) 2019 di Markas PBB, New York, Senin (15/7).

Kondisi tersebut sesuai dengan pembahasan Special Report on Global Warming of 1,5°C, laporan komprehensif yang dirilis Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada Oktober 2018 berisi ulasan mengenai pembatasan naiknya pemanasan global 1,5°C memerlukan transisi yang cepat dan luas, baik penggunaan energi, pengelolaan lahan, pengembangan infrastruktur perkotaan yang berkelanjutan, termasuk transportasi, bangunan, serta sistem industri. Indonesia hanya memiliki waktu 11 tahun lagi untuk mencapai target pencegahan di 2030. “Di sektor maritim, dampak perubahan iklim dapat dilihat dari proyeksi naiknya temperatur permukaan laut sebesar 0,25 derajat Celsius dalam periode 2006-2040, juga ombak ekstrem. Kondisi ini akan mempengaruhi biodiversitas, menyebabkan terumbu karang memutih, dan berdampak pada kehidupan pesisir laut. Studi Bappenas menunjukkan Indonesia memiliki setidaknya garis pantai sepanjang 18.000 kilometer yang masuk ke kategori area rentan terdampak,” ujar Menteri Bambang.

Lebih lanjut, komitmen Indonesia untuk mencapai target-target terkait perubahan iklim juga ditegaskan melalui Pembangunan Rendah Karbon (PRK) Indonesia. Skenario PRK moderat memprediksi PDB Indonesia dapat dipertahankan di angka 5,3 persen pada 2045 dan penurunan emisi rumah kaca sebesar 29 persen pada 2045. Sementara itu, skenario yang lebih ambisius memprediksi pertumbuhan PDB hingga 6 persen pada 2045 dengan penurunan emisi gas rumah kaca hingga 41 persen pada 2030. Namun, transisi menuju PRK dan aksi responsif terhadap perubahan iklim lainnya membutuhkan investasi yang cukup besar. Sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia membutuhkan USD 247 miliar untuk transisi. Sementara di tataran global, dengan perhitungan pendanaan rata-rata yang mengacu pada NDC, banyaknya investasi yang dibutuhkan mencapai USD 4,4 triliun. Dibandingkan dengan nilai investasi yang dibutuhkan tersebut, Indonesia masih butuh pendanaan yang masif, mengingat di 2018, alokasi anggaran untuk aksi perubahan iklim tercatat hanya USD 9,3 miliar. Untuk itu, tahun ini, Indonesia menerbitkan green sukuk senilai USD 1,25 miliar.

“Sebagai institusi pendanaan iklim terbesar, The Green Climate Fund (GCF) diharapkan mampu menyediakan dukungan pendanaan untuk Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Saat ini, GCF sudah mendukung tiga proyek di Indonesia, yakni Mitigasi Risiko Sumber Daya Geotermal yang berpotensi menurunkan 112,2 juta ton karbon dioksida per tahun dengan total pendanaan USD 410 juta, Pengembangan Bus Rapid Transit di Semarang dengan total hibah GCF sebesar USD 788 ribu yang berpotensi mengurangi 210 ribu ton karbon dioksida per tahun, dan Climate Investor One, proyek yang diimplementasikan di 11 negara, termasuk Indonesia, di mana GCF sepakat untuk memberikan USD 100 juga dengan co-financing sebesar USD 721,5 juta. Proyek ini akan menyediakan pendanaan proyek energi terbarukan yang diharapkan mampu mengurangi 53,7 juta ton karbon dioksida per tahun,” tutup Menteri Bambang.