Pentingnya Edukasi Pencegahan Perkawinan Anak Pasca Pandemi

Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas Woro Srihasuti Sulistyaningrum mengatakan perkawinan anak tidak hanya terjadi pada satu kelompok tertentu. Hal tersebut disampaikan dalam Webinar Pencegahan Perkawinan Anak di Indonesia yang diselenggarakan BKKBN bersama UNFPA sekaligus peluncuran Laporan Situasi Kependudukan Dunia atau State of World Population Report (SWOP) 2020, pada Kamis (2/7).

Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik 2015, satu dari empat perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Padahal, perkawinan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak dan juga praktik melanggar hak-hak dasar anak. “Tingkat perceraian pada perkawinan anak lebih tinggi dibandingkan dengan yang bukan perkawinan anak. Perkawinan anak bisa menyebabkan masalah ekonomi, masalah Angka Kematian Ibu (AKI), kemudian juga kematian bayi, kekerasan, dan pendidikan,” urai Woro.

Menjawab hal di atas, pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 sebagai perubahan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Anak. Undang-undang ini mengubah batas usia minimal menikah, baik laki-laki maupun perempuan dari sebelumnya di usia 16 tahun menjadi 19 tahun. Meskipun usia ideal melahirkan untuk perempuan adalah 20 sampai 35 tahun. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan mengimbau kementerian/lembaga terkait termasuk BKKBN untuk selalu melakukan kampanye jangan ada 4 Terlalu, yaitu Terlalu Muda, Terlalu Tua, Terlalu Sering, dan Terlalu Banyak Melahirkan. Keempat Terlalu ini harus dihindari karena menjadi salah satu penyebab kematian ibu dan bayi.

Kementerian PPN/Bappenas sendiri memiliki lima strategi pencegahan perkawinan anak. Pertama, mengoptimalkan kapasitas anak dengan meningkatkan kesadaran dan sikap anak terkait hak kesehatan reproduksi dan seksualitas, serta meningkatkan partisipasi anak dalam mencegah perkawinan anak. Kedua, lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak dengan menguatkan ketahanan keluarga. Ketiga, aksesibilitas dan perluasan layanan yang fokus pada upaya pencegahan perkawinan anak dan penguatan anak pasca pernikahan. Keempat, penguatan regulasi dan kelembagaan. Kelima, penguatan koordinasi pemangku kepentingan.

Woro juga memberikan rekomendasi terkait pencegahan perkawinan anak pasca pandemi Covid-19. Pelatihan dan edukasi dapat dilakukan secara daring, berbasis komunitas, dan pelibatan kelompok remaja serta pendidikan kesehatan reproduksi. Selain itu perlu juga membangun lingkungan yang ramah anak, peran tokoh masyarakat dan media untuk memberi pesan dan informasi, serta optimalisasi program-program pencegahan perkawinan anak. “Kolaborasi menjadi sangat penting untuk bisa memastikan apa yang menjadi tujuan kita tercapai,” pungkasnya.