Bahas Urgensi Pembangunan Rendah Karbon, Bappenas Helat LCDI Week 2021

JAKARTA – Untuk membangun diskursus publik terkait urgensi penerapan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) di Indonesia, Kementerian PPN/Bappenas melalui Sekretariat Low Carbon Development Indonesia (LCDI) menggelar LCDI Week 2021 pada 11-14 Oktober 2021. Sejumlah agenda utama meliputi pembahasan dokumen Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI), peningkatan peran media, hingga peluncuran Laporan “A Green Economy for a Net Zero Future: How Indonesia Can Build Back Better after Covid-19 with The Low Carbon Development Initiative”.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebut, proyeksi domestik kenaikan suhu dapat mencapai 3,5°C pada 2100. “Untuk itu, pemerintah menetapkan kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim yang merupakan perwujudan komitmen nasional terhadap komitmen global yaitu SDGs, Sendai Framework, dan Paris Agreement,” tutur Deputi Bidang Kemaritiman dan SDA Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto dalam LCDI Week 2021, Senin (11/10).

Untuk itu, PBI yang diimplementasikan melalui Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 dan menjadi salah satu Prioritas Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, membidik pengurangan risiko bencana dan sosial ekonomi sekaligus menguatkan ketahanan terhadap perubahan iklim. Berdasarkan kajian Bappenas pada 2019, total kerugian ekonomi untuk empat sektor prioritas ketahanan iklim dalam RPJMN 2020-2024 diperkirakan sebesar Rp 544 triliun, dengan peningkatan 12,8 persen dari 2020 ke 2024.

Sebagai langkah mitigasi, Kementerian PPN/Bappenas mengembangkan platform daring Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Aksi (Aksara) PRK Indonesia, yang berperan membantu proses perekaman aksi kementerian/lembaga dan perhitungan nilai pengurangan kerugian ekonomi. Dari hasil pelaporan pada 2020, aksi PBI di Indonesia mampu mengurangi kerugian ekonomi Rp 44,39 triliun dari target Rp 52,91 triliun atau sebesar 84 persen. Capaian pengurangan potensi kerugian tersebut merupakan total capaian empat sektor PBI, yaitu Kelautan dan Pesisir sebesar Rp 27,35 triliun, Air Rp 0,91 triliun, Pertanian Rp 15,75 triliun, dan Kesehatan Rp 0,39 triliun. Ke depan, Aksara akan terus dikembangkan dengan sistem dynamic tagging agar mampu menjadi trend-setter dan merekam seluruh aksi PBI di provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia.

 

Pentingnya Peran Media Massa

Pentingnya peran media massa dalam implementasi PRK dibahas tuntas dalam “Morning Chat with Media: Indonesia Mubazir Pangan, Kok Bisa?” yang diselenggarakan Selasa (12/10) yang membahas Food Loss and Waste (FLW) di Indonesia. Kementerian PPN/Bappenas memperkirakan timbulan FLW pada 2000-2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun, setara 115-184 kg/kapita/tahun. Kerugian ekonomi akibat FLW selama 20 tahun terakhir, setara 4-5 persen PDB Indonesia, yaitu Rp 213-551 triliun per tahun, mencakup kehilangan kandungan energi setara dengan porsi makanan 61-125 juta orang per tahun. Sementara dari sisi emisi, FLW Indonesia mengeluarkan emisi 1.702,9 Megaton CO2-Ekuivalen selama 20 tahun.

Kajian Bappenas tersebut menjadi referensi bagi para pemangku kepentingan, sekaligus menggambarkan upaya pengelolaan FLW demi mengimplementasikan PRK dan ekonomi sirkular. “Panduan pengelolaan sampah sudah banyak disusun kementerian/lembaga, namun tantangannya adalah masyarakat belum banyak tersosialisasikan terkait panduan ini sehingga  peran media dan pegiat lingkungan perlu didorong, membantu menyampaikan informasi pengelolaan mubazir pangan di Indonesia dengan bahasa yang mudah dipahami,” ungkap Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam.

 

Skenario Net-Zero Emission

Laporan “A Green Economy for a Net Zero Future: How Indonesia Can Build Back Better after Covid-19 with The Low Carbon Development Initiative” menyajikan skenario kebijakan PRK, termasuk upaya mencapai net-zero emission di Indonesia pada 2060. Pertama, skenario net-zero emission mampu mewujudkan Visi Indonesia 2045, menjadi negara berpendapatan tinggi dengan target USD 13.980-14.495. Kedua, penerapan program energi efisiensi, sejalan dengan peningkatan Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk menekan pertumbuhan energy demand. Ketiga, penggunaan EBT di sektor kelistrikan untuk mencapai net-zero emission. Keempat, skenario net-zero emission di sektor lahan mampu meningkatkan tutupan hutan sekunder dan melindungi hutan primer. Pada 2060, upaya restorasi lahan dapat meningkatkan tutupan hutan sekunder seluas 4,1 juta ha dan melindungi 3,2 juta ha hutan primer. Kelima, skenario net-zero emission melalui PRK mampu menciptakan lapangan kerja baru hingga 7-10 kali lipat lapangan kerja lebih besar dibandingkan investasi konvensional. Selain itu, juga menciptakan 1,8-2,2 juta lapangan kerja di 2030.

“Target Indonesia untuk mencapai net-zero emission pada 2060 merupakan capaian signifikan dalam upaya penanggulangan perubahan iklim. Tetapi, lebih jauh dari itu, penting memastikan Indonesia tidak terlambat untuk memulai transisi menuju ekonomi hijau. Penyatuan visi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan menjadi aspek penting dalam memastikan proses transisi yang adil menuju pencapaian net-zero emission dan ekonomi hijau di masa mendatang,” tutur Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa pada LCDI Week hari ketiga, Rabu (13/10).

"Kita perlu mengalkulasi berapa investasi yang diperlukan Indonesia untuk mengimplementasikan skenario net-zero emission. Hasil studi kami menunjukkan, kebutuhan investasi pada 2021-2030 rata-rata USD 150-200 miliar (Rp 2,2-2,9 kuadriliun) per tahun. Angka ini mengambil porsi 3,4-3,5 persen dari PDB pada periode tersebut,” kata ujar Deputi Arifin. Kementerian PPN/Bappenas telah mengidentifikasi sumber pembiayaan tersebut, meliputi investasi dari sektor swasta, penghematan dari subsidi bahan bakar fosil, serta peningkatan investasi publik. Adapun, sumber potensial utama akan berasal dari realokasi sumber-sumber investasi rendah karbon dan investasi hijau.