Tingkatkan Pemerataan Pendidikan Berkualitas di Indonesia

Pendidikan berkeadilan merupakan salah satu isu yang diharapkan dapat segera diselesaikan di Indonesia. Tidak hanya isu kesempatan sekolah bagi seluruh masyarakat, tetapi pemerataan kualitas pendidikan juga masih perlu diperbaiki. Direktur Pendidikan dan Agama Kementerian PPN/Bappenas Amich Alhumami mengatakan, isu ini masih mengemuka dan perlu terus dibicarakan untuk mendapatkan respons masyarakat yang menjadi aspirasi ke pemerintah agar isu pendidikan dapat diselesaikan dengan lebih baik. “Aspirasi itu akan diserap dan menjadi kebijakan pemerintah. Ini yang kita sebut dengan tanggung jawab etik negara,” ujarnya pada Webinar Pendidikan Berkeadilan: Isu-isu Aktual dan Tanggung Jawab Etik Negara, Rabu (15/7).

Hingga 2019 tercatat jumlah anak tidak sekolah di usia 7-18 tahun mencapai 4,3 juta penduduk atau 6 persen dari total penduduk usia sekolah. Jumlah anak tidak sekolah ini paling besar terdapat di daerah padat penduduk, yakni di Pulau Jawa antara lain Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Masalah ekonomi masih menjadi alasan utama penyebab putusnya sekolah pada anak-anak. Lima puluh lima persen alasan anak tidak sekolah adalah tidak adanya biaya sekolah sehingga mereka terpaksa bekerja untuk membantu orang tua mencari nafkah.

Partisipasi pendidikan di berbagai wilayah Indonesia pun menjadi masalah yang harus diselesaikan. “Ini tantangan terbesar bagi kita. Kesenjangan Angka Partisipasi Kasar (APK) di SMA atau SMK masih rendah. Apalagi jika kita fokus melakukan Wajib Belajar 12 Tahun, karena partisipasi di tingkat SMP dan pendidikan dasar sudah cukup rendah,” tuturnya. Kesenjangan tersebut juga paling besar terjadi di tiga wilayah padat penduduk ditambah beberapa daerah lain, seperti Papua, Aceh, dan Sumatera Selatan. Dengan menyelesaikan kesenjangan partisipasi sekolah diharapkan dapat memberikan pendidikan berkeadilan yang merata ke seluruh masyarakat.

Masalah sosial ekonomi menjadi salah satu penyebab kesenjangan partisipasi terlebih pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Meski kesenjangan tersebut semakin berkurang dari tahun ke tahun, namun isu tersebut masih menjadi penghambat untuk masyarakat mendapatkan pendidikan berkeadilan. Terlihat dalam jenjang pendidikan tinggi, di mana partisipasi anak dari keluarga kelas atas sebesar 62,41 persen, sedangkan anak dari keluarga kelas bawah hanya terdapat 12,02 persen. “Selama dua dekade, selisih partisipasi dari keluarga paling kaya dan keluarga paling miskin sudah berkurang. Ada berita baik ini karena investasi untuk pemerataan pendidikan bermakna. Sekarang kita harus mengatasi disparitas dari sisi kualitas,” pungkasnya.