Perlindungan Mata Air dan Air Tanah sebagai Upaya Pencapaian Ketahanan Air

Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Bappenas mengundang stakeholders dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) Konservasi Sumber Daya Air Tanah dan Mata Air di DAS Prioritas di Gedung Pusbindiklatren Bappenas, Selasa (11/11).  Jl. Proklamasi No.70 Jakarta. Acara yang dipimpin Kepala Sub Direktorat Rehabilitasi Hutan dan Konservasi Sumber Daya Air Nita Kartika tersebut menghadirkan narasumber Direktur Pengendalian Kerusakan Perairan Darat KLHK  Hermono Sigit dan Dr. Dasapta Erwin Irawan dari Institut Teknologi Bandung.

FGD dilaksanakan untuk mendapatkan pemahaman tentang masalah konservasi tanah sebagai akibat dari rusaknya lansekap DAS dan juga memberikan gambaran tentang penanganan konservasi air tanah baik pada kawasan hulu, tengah, maupun hilir DAS. Masukan yang ingin didapatkan dalam hal ini adalah tentang upaya-upaya dan penanganan rehabilitasi air tanah dan mata air terutama di DAS Prioritas sebagai bagian dari target pencapaian ketahanan air dalam  RPJMN 2015 - 2019. “Direktorat Pengendalian Ekosistem Perairan Darat menganggap program ketahanan air merupakan hal yang penting dan baru. Namun kenyataan di lapangan didapatkan perlindungan, pengelolaan, dan pengawasan pada mata air belum cukup didalami. Oleh karena itu perlu diaturnya ketetatapan area mata air yang perlu diberikan treatment perlindungan, pengelolaan, dan pengawasan”, papar Direktur Hermono Sigit.

Pengendalian kerusakan mata air dan air tanah dipengaruhi oleh tekanan lingkungan, permasalahan lingkungan, dan bencana ekologis. Dari ketiga faktor ini selanjutnya akan mempengaruhi kondisi mata air dan air tanah. Kondisi ini selanjutnya diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelas, yakni kelas Aman – Rawan – Rusak. Fungsi dari pengklasifikasian kelas ini nantinya akan menjadi pertimbangan pengambilan keputusan untuk melaksanakan aksi yang sesuai untuk kondisi masing-masing kelas.

Sementara itu, Dr. Dasapta menyatakan pemanfaatan air tanah sebagai opsi terakhir setelah air permukaan atau sumber lain. “Dalam pengambilan air tanah sebaiknya dilakukan pada musim kemarau saja,  karena pada saat musim hujan kita bisa memanen air yang melimpah sekaligus mengurangi konsumsi air tanah. Oleh karena itu dapat dikembangkan pula penerapan teknologi untuk pembuatan ‘tenda air’ dan ‘bisnis air hujan’. Tidak luput tetap menekan aturan pengenaan pajak dalam pengambilan air tanah”, tuturmya.

Untuk pemulihan air tanah tidak bisa dilakukan di tanah dangkal. Areal yang perlu di cover dengan ekuivalensi simpanan air hujan dan perlu dipertimbangkan pula berapa kapasitas (liter) yang akan dimasukkan. “Teknologi yang dapat dikembangkan di masa depan adalah bagaimana rumah-rumah atau gedung-gedung perkantoran dapat mandiri memproduksi air tanpa mengambil air tanahnya. Hal ini perlu didukung dari sektor Perguruan Tinggi yang memiliki potensi SDM yang berkualitas untuk menghasilkan riset-riset teknologi,” pungkas beliau.