Peluncuran Buku UN-ESCAP Asia-Pacific Disaster Report 2019: The Disaster Riskspace Across Asia Pacific

JAKARTA – Kementerian PPN/Bappenas menyelenggarakan peluncuran buku “Asia-Pacific Disaster Report 2019: The Disaster Riskspace Across Asia Pasific” atas permintaan Sekretaris Eksekutif United Nations Economic and Social Commission of Asia and Pacific (UN-ESCAP) di Gedung Kementerian PPN/Bappenas, Jumat (30/8). Indonesia terpilih sebagai negara pertama yang mensosialisasikan buku laporan dua tahunan tentang kebencanaan di wilayah Asia Pasifik pada 2019 ini, setelah sebelumnya diluncurkan secara resmi oleh UN-ESCAP pada Kamis (22/8) lalu di Bangkok, Thailand. Pemilihan Indonesia didasarkan pada situasi terakhir kebencanaan di Indonesia, yakni meningkatnya kecenderungan rangkaian bencana di tanah air.

Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa sejak 2015 hingga sekarang tercatat 12.478 kejadian bencana di Indonesia dan terjadi peningkatan sangat signifikan pada tiga tahun terakhir. Pada 2018, terdapat sebanyak 3.525 kejadian bencana. Mengingat kecenderungan kejadian bencana di wilayah Asia Pasifik belakangan ini didominasi oleh bencana hidrometeorologi, UN-ESCAP memfokuskan laporan kebencanaan Asia Pasifik 2019 pada hidrometeorologi, khususnya banjir dan kekeringan. Hal tersebut sejalan dengan karakteristik kejadian bencana di wilayah Indonesia yang juga didominasi bencana hidrometeorologi sebesar 75,35 persen, sedangkan sisanya bencana geologi. Dalam sambutan pembuka, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Sekretaris Eksekutif UN-ESCAP Armida Alisjahbana yang memilih Indonesia sebagai negara pertama untuk mensosialisasikan buku laporan kebencanaan tersebut.

“Buku laporan UN ESCAP ini menjadi dokumen yang relevan bagi kami Pemerintah Indonesia dan mungkin bagi negara lainnya di wilayah Asia-Pasifik sebagai masukan dalam memperkuat perencanaan pembangunan ketahanan terhadap bencana dan iklim, khususnya bencana hidrometeorologi yang semakin meningkat frekuensinya dan meluas cakupan wilayahnya. Pada 2016, Indonesia menderita kerugian ekonomi lebih dari Rp 7 triliun akibat dampak kejadian bencana geologi dan hidrometeorologi. Nilai tersebut setara dengan 0,08 persen dari PDB Indonesia. Pada tahun berikutnya, kejadian bencana masih menimbulkan dampak kerugian ekonomi yang mencapai hampir Rp 4,7 triliun atau 0,05 persen dari PDB kita. Pemerintah Indonesia menyadari masih terdapat banyak pekerjaan yang harus dilakukan tahun mendatang untuk mencapai target mengurangi kerugian ekonomi akibat bencana pada 2024. Untuk itu, pembangunan lingkungan hidup dan penguatan ketahanan bencana dan perubahan iklim menjadi satu dari tujuh agenda pembangunan nasional 2020-2024,” ujar beliau.

Menteri Bambang menambahkan, buku Asia-Pacific Disaster Report 2019: The Disaster Riskspace Across Asia Pasific sangat diperlukan bagi Pemerintah Indonesia untuk memperkuat ketahanan terhadap bencana dan iklim yang telah dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan nasional pada rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 mendatang. Dokumen rencana induk yang holistik dan integratif ini menjadi acuan atau pedoman pembangunan yang berbasis pengurangan risiko bencana. Sebagai negara kepulauan dengan 34 Provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota yang rawan bencana, juga dengan tradisi otonomi daerah yang sangat kuat, Indonesia butuh perencanaan pembangunan di tingkat nasional maupun regional. Untuk itu, Pemerintah Indonesia telah menyusun Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) 2015-2045 sebagai instrumen implementasi pendekatan yang terprogram dan inklusif untuk melembagakan konsep ketahanan bencana dan perubahan iklim sebagai elemen kunci dari pembangunan nasional.

Dalam sambutannya, Armida menyampaikan tiga pesan kunci. “Pertama, negara kawasan Asia Pasifik menghadapi new climate reality yang mengakibatkan kerugian ekonomi akibat bencana meningkat. Kami memasukkan slow-onset disaster terutama kekeringan ke analisis kami. Dampak kerugian ekonomi dengan memasukkan kekeringan adalah rata-rata sekitar USD 675 miliar per tahun. Kedua, kawasan kita kelompokkan menjadi empat kluster hotspots dari dampak perubahan iklim dan bencana, yaitu transboundary river basinsthe ring of firepacific SIDS, dan sand and dust storm risk corridorsKetiga, bencana alam berdampak tidak langsung terhadap kemiskinan, termasuk kepada akses pendidikan dan kesehatan. Ini resiko yang bisa kita mitigasi, sehingga dampaknya tidak signifikan,” jelas Armida. Sementara tiga rekomendasi policy action dari UN ESCAP antara lain: lebih banyak lagi menginvestasikan upaya memitigasi bencana, pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) serta Big Data, serta meningkatkan kerjasama regional melalui the Asia Pacific disaster Resilience Network.

Sejalan dengan itu, Armida juga menyampaikan perlunya perhatian khusus dari Pemerintah Indonesia untuk dapat terus meningkatkan ketahanan bencana dan iklim, seraya menyampaikan apresiasi bahwa ketahanan bencana dan iklim telah dimasukkan ke dalam salah satu prioritas pembangunan nasional dalam RPJMN 2020-2024. Dengan mempertimbangkan cukup majunya kapasitas penanganan dan pengurangan risiko bencana Pemerintah Indonesia dibandingkan dengan negara di wilayah ASEAN dan bahkan Asia Pasifik, Armida juga berharap Indonesia dapat memberikan fasilitasi dan asistensi kepada negara-negara di wilayah Asia Pasifik yang relatif masih perlu ditingkatkan kapasitasnya dalam penanganan dan pengurangan risiko bencana.

 “Laporan UN ESCAP yang akan diluncurkan ini menyajikan fakta-fakta melalui pendekatan lanskap risiko bencana yang komprehensif. Pendekatan tersebut telah menangkap informasi persebaran geografis kerugian tahunan rata-rata yang ternyata tidak merata untuk setiap jenis bahaya. Hal ini tentunya telah memudahkan kita para aktor pembangunan dalam memahami geografi risiko di setiap wilayah guna merumuskan kebijakan pembangunan yang tepat sasaran. Semoga kita bisa bekerja sama dan meningkatkan upaya bersama untuk menjadikan wilayah Asia-Pasifik tangguh dan lebih aman bagi semua dengan mempromosikan pengurangan risiko bencana melalui pembangunan berketahanan bencana dan iklim,” pungkas Menteri Bambang.

UN-ESCAP, sebagai salah satu badan dalam PBB yang bertanggung jawab untuk memfasilitasi pembangunan sosial dan ekonomi, termasuk aspek kebencanaan untuk negara di kawasan Asia Pasifik, mengharapkan Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian PPN/Bappenas dan beberapa lembaga pemerintah yang terkait langsung seperti BNPB, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), untuk dapat meningkatkan kapasitas kelembagaan dan teknis dalam penanganan dan pengurangan risiko bencana, melalui peningkatan kerja sama dengan UN-ESCAP baik secara langsung maupun tidak langsung khususnya melalui skema kerja sama jangka menengah dengan UN-ESCAP dalam penguatan kapasitas kelembagaan penanggulangan dan pengurangan risiko bencana, melalui ASEAN Humanitarian Assistance Centre (AHA Centre) yang telah berjalan dalam lima tahun terakhir.

Selain penyerahan buku laporan kebencanaan Asia Pasifik 2019 oleh Sekretaris Eksekutif UN-ESCAP kepada Menteri PPN/ Kepala Bappenas, Kepala BNPB, Kepala LAPAN, dan Kepala Deputi Geofisika BMKG secara simbolis, juga dilakukan bincang-bincang yang menghadirkan Kepala BNPB Doni Monardo, Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin, dan Kepala Deputi Geofisika BMKG Muhamad Sadly, untuk memberikan tanggapan masing-masing terhadap laporan kebencanaan Asia Pasifik 2019 tersebut, sebagai masukan lanjutan atas kebijakan penanganan dan pengurangan risiko bencana, khususnya jenis hidrometeorologi dan klimatologi di Indonesia. Buku laporan juga dibagikan kepada perwakilan kementerian/lembaga, perwakilan negara sahabat dan mitra pembangunan, dan dapat diunduh melalui situs web UN-ESCAP, juga melalui pranala bit.ly/APDR2019.