Peningkatan Kualitas Remaja untuk Hadapi Bonus Demografi

Menghadapi bonus demografi pada 2025, Pemerintah Indonesia telah mempersiapkan intervensi untuk mendorong perkembangan remaja agar memiliki masa depan yang lebih baik. “Kondisi itu akan menjadi bonus kalau penduduk usia produktif itu berkualitas. Kalau tidak berkualitas, maka akan jadi beban. Kita harus memastikan pembangunan sumber daya manusia kita berkualitas dan berdaya saing,” ujar Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas Woro Srihastuti Sulistyaningrum dalam Webinar Intervensi Perkembangan Remaja Seawal Mungkin untuk Masa Depan yang Sehat dan Berkualitas, Rabu (25/11).

Untuk mendukung pembangunan remaja di Indonesia, pemerintah telah membuat berbagai kebijakan terkait kesehatan seksual dan reproduksi remaja, kesehatan mental, perlindungan anak, dan peningkatan kualitas pemuda, sesuai amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 serta Prioritas Nasional dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2021 untuk meningkatkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing. Direktur Woro juga menggarisbawahi pentingnya kolaborasi dan koordinasi berbagai pihak untuk memastikan intervensi pada remaja tidak hanya dilakukan kepada kelompok usia remaja saja, tetapi dilakukan jauh sebelum individu tersebut memasuki usia remaja. “Pada saat kita berbicara pembangunan remaja sifatnya lintas sektor, multi-level, dan sesuai siklus hidup,” ucap Woro. 

Sampai saat ini, kesehatan reproduksi masih menjadi tantangan dalam meningkatkan kualitas perkembangan remaja, salah satunya dengan adanya kehamilan remaja. Direktur Woro mengatakan, meski angka kelahiran remaja/Age Specific Fertility Rate (ASFR) pada usia 15-19 tahun menurun secara signifikan, namun usia ASFR semakin muda. Hal ini terlihat pada kenaikan ASFR pada anak usia 10-14 tahun. Untuk mengatasinya, perlu ditingkatkan pengetahuan, pemahaman, dan akses layanan kesehatan reproduksi remaja. Di dalam RKP 2021, kesehatan reproduksi remaja ditargetkan semakin membaik, dengan ASFR sebesar 24 per 1.000 perempuan, persentase perkawinan perempuan di bawah 18 tahun menjadi 9,8 persen, dan prevalensi anak usia 13-17 tahun yang mengalami kekerasan menurun, yakni anak perempuan menjadi sebesar 62 persen dan anak laki-laki sebesar 61,2 persen.

Selain itu, untuk meningkatkan kesehatan reproduksi dan mencegah perkawinan anak, diperlukan pendekatan responsif terhadap keragaman dan karakteristik wilayah untuk memastikan remaja mendapatkan hak dan akses terhadap layanan kesehatan. “Jadi, kita sudah membuat payung, bagaimana mendorong kementerian/lembaga dan daerah untuk melaksanakan apa yang menjadi arah kebijakan dalam RPJMN 2020-2024,” imbuhnya. Kesehatan reproduksi juga menjadi salah satu fokus Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals.