Komposisi, Profil, dan Manajemen Utang Indonesia Dalam Kondisi Sehat, Menteri Bambang Dorong Investasi Non-APBN Untuk Infrastruktur

LUKSEMBURG – “Dalam hal keberlanjutan utang, Indonesia berada dalam situasi yang sehat. Defisit anggaran Indonesia dan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu yang terendah dibandingkan negara-negara setara. Pemerintah Indonesia juga menerapkan manajemen portofolio utang yang disiplin dan canggih dengan periode jatuh tempo yang panjang dan beragam di berbagai mata uang. Utang luar negeri Indonesia, termasuk utang swasta, juga berada dalam situasi yang baik, karena Pemerintah Indonesia telah memperkuat manajemen risiko utang luar negeri dan swasta. Akibatnya, Indonesia memiliki komposisi dan profil utang yang sehat serta masih memiliki ruang untuk meningkatkan belanja infrastruktur,” jelas Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro sebagai panelis dalam acara The Seminar on Debt Sustainability and Macroeconomic Issues In Infrastructure pada rangkaian acara Pertemuan Tahunan The Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) 2019 di Luksemburg, Jumat (12/7).

 Untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi pada 2036 dan negara dengan PDB terbesar kelima dunia pada 2045, Indonesia harus tumbuh sebesar 5,7 persen per tahun dalam 20 tahun ke depan dengan melanjutkan reformasi struktural, memanfaatkan bonus demografi dan kemajuan teknologi, juga meningkatkan daya saing ekonomi. “Untuk mencapai Indonesia Emas 2045, Indonesia perlu menjalankan pembangunan infrastruktur yang adil dan terintegrasi. Indonesia menargetkan peningkatan saham infrastruktur menjadi 70 persen PDB pada 2045. Dengan begitu, biaya logistik pada 2045 dapat ditekan menjadi 8 persen dari PDB. Untuk rencana jangka menengah, pembangunan infrastruktur akan difokuskan pada integrasi infrastruktur dengan sektor ekonomi dan peningkatan pembangunan daerah,” jelas Menteri Bambang.

 Pembangunan infrastruktur di Indonesia telah meningkat selama lima tahun terakhir. Pada 2019, anggaran negara yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur meningkat sebesar 62 persen dari lima tahun terakhir. Alhasil, Indonesia menempati peringkat ke-52 dalam pilar Infrastruktur atau naik 9 peringkat dibandingkan lima tahun sebelumnya. Meskipun membaik, pembangunan infrastruktur Indonesia masih perlu mengejar ketertinggalan dari sebagian negara Asia Timur dan Pasifik dan masih menjadi salah satu kendala dalam melakukan bisnis di Indonesia. Saat ini, saham infrastruktur Indonesia masih di bawah rata-rata negara maju dan berkembang yang sudah mencapai 70 persen. “Untuk meningkatkan saham infrastruktur terhadap PDB dari 43 persen di 2017 menjadi 50 persen PDB di 2024, Indonesia membutuhkan investasi infrastruktur sebesar sebesar USD 429,7 miliar atau sebesar 6,1 persen PDB pada periode 2020-2024. Jumlah ini meningkat 20 persen dibandingkan kebutuhan investasi infrastruktur sebesar USD 359,2 miliar pada 2015-2019. Untuk mewujudkan kebutuhan tersebut, pemerintah mendorong peran sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) juga Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA),” jelas beliau.

 Dalam kesempatan tersebut, Menteri Bambang juga menyampaikan beberapa tantangan makro Indonesia. Indonesia diharapkan dapat menjaga stabilitas tingkat inflasi yang ditargetkan dapat dijaga di bawah lima persen dalam lima tahun ke depan. Menteri Bambang menekankan tantangan juga akan datang dari defisit neraca berjalan. “Dalam jangka pendek, pembangunan infrastruktur akan memberi tekanan pada defisit transaksi berjalan dengan meningkatkan impor. Untuk itu, saya berharap pembangunan infrastruktur dalam lima tahun terakhir dapat membantu Indonesia dalam meningkatkan ekspor, terutama ekspor non komoditas Indonesia. Oleh karenanya, investasi akan memainkan peran utama sebagai sumber pertumbuhan, salah satunya melalui investasi infrastruktur,” pungkas Menteri Bambang