Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menggelar peluncuran Program Nasional Penanganan Permukiman Kumuh tahun 2015-2019 pada Senin (22/12) di Ruang Executive Lounge Gedung Bappenas. Hadir Dalam Kesempatan ini antara lain Menteri PPN/Kepala Bappenas, Andrinof Chaniago; Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang diwakili oleh Staf Ahli Menteri, Ir. Ridho Matari MCP; Deputi Sarana dan Prasarana Bappenas, Dr. Ir. Dedy Supriadi Priatna; Direktur Permukiman dan Perumahan. Ir. Nugroho Tri Utomo, MRP, Walikota Banjarmasin, Semarang, Surabaya, Tangerang, Malang, Makasar, Palembang, Yogyakarta, dan Pekalongan; serta berbagai stakeholders terkait.
Dalam laporannya, Dr. Ir. Dedy Supriadi Priatna menyampaikan bahwa permukiman kumuh merupakan akumulasi dari ketidakmampuan masyarakat untuk memelihara rumah dan lingkunganya, serta ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola kawasan permukiman serta menyediakan sarana dan prasarana dasar. “Oleh karena itu perwujudan kota tanpa permukiman kumuh merupakan cita-cita besar yang dimandatkan dalam RPJPN 2005-2025. Rumah dan permukiman merupakan tempat persemaian budaya dan pembinaan keluarga harus memenuhi kriteria sehat dan layak yang merupakan hak konstitusi warga negara sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 28 h UUD 1945,” ungkapnya.
Hingga bulan Oktober 2014, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Pemprov DKI mencatat ada sekitar 38.431 ha kawasan kumuh yang tersebar di Indonesia. Hal tersebut merupakan tantangan besar dalam mencapai target nol persen pada tahun 2019. Berdasarkan kondisi tersebut, diperlukan kebijakan dan program kolaborasi antar sektor dalam memecahkan persoalan permukiman kumuh secara nasional. Penangan hal ini tidak bisa diselesikan hanya dengan pendekatan top down semata, melainkan harus sesuai dengan kebutuhan daerah. “Oleh karena itu, program nasional penanganan permukiman kumuh tahun 2015-209 diharapkan dapat menjadi contoh kolaborasi antar sektor baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, mitra pembangunan, dan masyarakat untuk bersama-sama menangani permukiman kumuh secara tuntas dan berkelanjutan,” kata Dr. Ir. Dedy Supriadi Priatna.
Dr. Ir. Dedy Supriadi Priatna menambahkan, program nasional penanganan permukiman kumuh tahun 2015-209 merupakan hasil kajian kebijakan SAPOLA (Slum Alleviation Policy and Action Plan) yang telah dilakukan pada tahun 2013 berdasarkan pembelajaran dari program-program penanganan permukiman kumuh yang telah dilakukan selama ini. Sebagai tahap awal program, telah terpilih sembilan kota yang akan menjadi kota-kota percontohan dimana penanganan permukiman kumuh akan fokus kepada daerah tersebut, yaitu: Banjarmasin, Semarang, Surabaya, Tangerang, Malang, Makasar, Palembang, Yogyakarta, dan Pekalongan. Kota-kota tersebut terpilih karena memenuhi kriteria minimal yang ditetapkan.
Sementara itu, Menteri Andrinof mengungkapkan, program ini merupakan mimpi besar yang memerlukan kolaborasi antar sektor. Program ini sekaligus merupakan tantangan berat untuk lima tahun ke depan karena targetnya adalah nol persen permukiman kumuh. “Kita harus mulai dengan keberanian menyampaikan komitmen dan tekad kita,” tegasnya.
Belajar dari inisaitif yang dilakukan oleh sejumlah kota di Indonesia, lanjut Menteri Andrinof, kita tentu optimis bisa ini berjalan dengan syarat kolaborasi dikerjakan dengan sungguh-sungguh. “Program ini jika dilakukan dengan kolaborasi pasti akan berhasil,” tuturnya.
Menteri Andrinof mengingatkan bahwa, program perwujudan kota tanpa permukiman kumuh ini jangan hanya membenahi persoalan sarana dan prasarana semata, tetapi juga harus memperhatikan persoalan pembangunan manusia dan sosial (masyarakat) dengan cara meningkatkan pendapatan ekonominya, meningkatkan kesejahteraannya, memperbaiki daya belinya. “Merubah perilaku dan nilai-nilai yang ada di masyarakat adalah syarat penting lainnya yang harus dilakukan penting untuk mengubah wajah kota. Wajah permukiman kota adalah salah satu indikator penting dari kualitas pembangunan. Kota yang bebas dari permukiman kumuh berarti pembangunannya berkualitas,” ungkapnya.
Dengan demikian, semua agen dan aktor yang memiliki peran mulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah daerah, sampai tingkat bawah harus berkolaborasi, bekerjasama dan bergotong royong. Selain itu, kolaborasi penting juga dilakukan oleh pemerintah dengan pihak luar pemerintah, seperti asosiasi, pegiat sosial, pegiat lingkungan, akademisi, pihak lainya. “Apabila kolaborasi ini dilakukan, wajah kota bisa diubah,” pungkasnya. (*)